HEADLINE
latest

Tradisi Kurban Kerbau Perlu Dilestarikan, MENGAPA?





Tradisi Kurban  Kerbau Perlu Dilestarikan, MENGAPA?

Oleh: Nur Said
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) NU Kudus: Dosen IAIN Kudus;    Anggota Tim Penulis Ensiklopedi Islam Nusantara, Edisi Budaya, Diktis Kemenag RI 


Setiap kali memasuki hari raya kurban (Idul Adha), umat Islam menyambutnya dengan riang gembira dengan kesibukan tambahan antara lain mempersiapkan hewan kurban. Demikian juga umat Islam di Kudus. Namun ada yang khas di Kudus.
Sudah lama Kudus dikenal sebagai kota yang unik dengan berbagai tradisi yang melekat. 
Salah satu tradisi itu adalah setiap hari raya Idul Adha atau orang Kudus menyebutnya sebagai Bodo Besar, umat Islam di Kudus lebih memilih menyembelih kerbau daripada sapi. Tentu disamping kurban kerbau masih juga didapati kurban kambing. Mengapa? 
Hal ini tak lepas dari kesadaran budaya (cultural awareness) masyarakat Kudus atas kesinambungan budaya dakwah Sunan Kudus yang santun dan bijak di tengah tradisi Hindu yang mensakralkan sapi. Kisah bijak Sunan Kudus yang mengarahkan umat Islam saat itu agar kurban kerbau di tengah dominasi umat Hindu adalah wujud kecerdasan budaya (cultural intellegence). Pesan utamanya adalah pentingnya mengedepankan nilai empati dan toleransi atau dalam istilah Jawa disebut tepo sliro. 
Islam sebagai sistem nilai membutuhkan ruang budaya sebagai wadahnya.  Ibarat air tanpa wadah akan banjir yang membahayakan manusia. Maka dibuatlah sungai, bendungan, danau atau lainnya.

Islam Butuh Wadah Budaya
Demikian juga, Islam tanpa wadah yang tepat, bisa melahirkan wajah Islam yang garang dan haus darah. Maka berbagai seni atau ragam budaya adalah sebagai wadah atau casing dari ajaran Islam itu.  Maka tradisi menyembelih kerbau dalam kurban Idul Adha di Kudus setidak memiliki 3 (tiga) pesan mulia nan penting; (1) sebagai monumen sejarah moderasi Islam di Kudus dan sekitarnya; (2) Menunjukkan adanya ketrampilan multikultural dalam beragama; (3) sebagai penanda bahwa dalam praksis Islam bukan sekedar memperhatikan aturan fiqh sebagai SOP dari syariah, tetapi juga penting memperhatikan etika dan estetika (akhlak). 

Lestarikan Terus
Lalu apa masih perlu kurban kerbau di Kudus ketika kini masyarat Kudus sudah mayoritas Islam? Menurut hemat penulis, masih tetap penting bahkan perlu dilestarikan terus sampai kapanpun. 
Namun kini sudah mulai ada tanda-tanda pergeseran dari kurban kerbau lalu menggantikannya dengan kurban sapi sebagaimana kota-kota lainnya. Hal ini terutama dilakukan oleh kalangan "terdidik-rasional" namun terasing dari akar budaya.
Perlu diingat para filosof Jerman pun mulai menyadari bahwa nalar itu ada batasnya. Maka lahirlah teori kecerdasan majemuk (multiple intellegence) yang dipelopori oleh Howard Gardner. 
Kecerdasan majemuk (KM) lebih menekankan sejauhmana potensi-potensi yang dimiliki manusia mampu memberi solusi atas berbaga masalah yang dihadapi umat manusia agar tetap aman, nyaman dan damai. 
Apa yang dilakukan oleh Sunan Kudus yang diikuti sebagian besar umat Islam di Kudus dengan menyembelih kerbau saat hari raya Idul Adha adalah bagian dari KM yang penulis sebut sebagai kecerdasan budaya. 

Impolite, Tak Elok
Kesadaran tradisi korban kerbau di Kudus  seperti itu sudah menjadi pemakluman umum bagi masyarakat, yang tak lepas dari pesan toleransi   antar umat beragama darinya. Maka tradisi kurban kerbau dalam hal ini bisa menjadi sumber belajar yang efektif dan sekaligus sebagai modal kultural bagi generasi berikutnya. Kalau ada sebagian warga Kudus yang mulai mengabaikan tradisi yang sudah maklum urgensinya dalam ilmu semiotika disebut impolite (ora elok.   Bisa jadi karena mereka ahistoris atau memang terasing dari  budaya dimana mereka tinggal (cultural illiterate)

Pergeseran dan Bahayanya
Dari data yang berkembang beberapa desa di Kudus sudah mulai muncul fenomena menyembelih  sapi saat kurban. Hal ini syah-syah saja, sebagai bagian dari warga Kudus, kita perlu saling menghormati  dan toleransi. 
Namun kalau gejala ini tidak diperhatikan lambat laun masyarakat Kudus akan krisis modal kultural untuk sumber belajar tentang toleransi. Sebagai warga Kudus tentu kita tak rela Menara Kudus dirobohkan meskipun perkembangan seni arsitektur terkini begitu pesat. Karena ia adalah penanda "Menara multikultural" yang meneduhkan zaman. Demikian juga apakah kita rela tradisi korban kerbau mau dikubur dalam sejarah, sementara ia juga sebagai monumen sejarah toleransi yang menyejukkan kehidupan.
Sampai di sini kita perlu menguji sebuah hipotesis: semakin banyak desa di Kudus meninggalkan tradisi kurban kerbau, menunjukkan semakin pudarnya moderasi Islam di kampung tersebut. Hipotesis ini masih perlu diuji, maka bisa jadi pada desa-desa tertentu akan menunjukkan pembenarannya. Mawas diri. Wallahu a'lam
#SelamatBerkurban
« PREV
NEXT »

Facebook Comments APPID